Siapa Sebenarnya Suharto?
Rizki Ridyasmara – Selasa, 20 Zulqa'dah 1429 H / 18 November 2008 08:21 WIB
Bulan
November 41 tahun lalu, Jenderal Suharto yang telah sukses mengkudeta
Bung Karno, mengirim satu tim ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli,
Prof. Soemitro Djoyohadikusumoh, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan
Berkeley University AS—sebab itu tim ekonomi ini juga disebut sebagai
‘Berkeley Mafia’—ke Swiss. Mereka hendak menggelar pertemuan dengan
sejumlah konglomerat Yahudi dunia yang dipimpin Rockefeller.
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul “The New Ruler of the World’ yang bisa didownload di situs youtube,
tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan
alam negeri ini ke hadapan Rockefeler cs. Dengan seenak perutnya, mereka
mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada
pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan
kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya.
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di
Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.
Sampai detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal
dan dikuburkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Imogiri, di
sebuah daratan dengan ketinggian 666 meter di atas permukaan laut (!?),
perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri ini masih saja terus
berjalan dan dikerjakan dengan sangat leluasa oleh berbagai korporasi
Yahudi Dunia. Hasilnya bisa kita lihat di mana-mana: angka kemiskinan di
negeri ini kian membengkak, kian banyak anak putus sekolah, kian banyak
anak-anak kecil berkeliaran di jalan-jalan raya, kian banyak orangtua
putus asa dan bunuh diri, kian banyak orang gila berkeliaran di
kampung-kampung, kian banyak kriminalitas, kian banyak kasus-kasus
korupsi, dan sederet lagi fakta-fakta tak terbantahkan jika negeri ini
tengah meluncur ke jurang kehancuran. Suharto adalah dalang dari semua
ini.
Tapi siapa sangka, walau sudah banyak sekali
buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar negeri
tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Jenderal Suharto
berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen
yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih saja dianggap harum oleh
sejumlah kalangan. Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok
yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras Kepala
(Belanda: Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.
Sebab itu, tulisan ini berusaha memaparkan apa
adanya tentang Jenderal Suharto. Agar setidaknya, mereka yang menganggap
Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan nasional,
harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih dalam, sudah
benarkah tindakan tersebut.
Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak
seorang Suharto harus diputuskan lewat jalan hukum yakni lewat jalur
pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar memaafkan
dosa-dosa seorang Suharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa
Suharto karena dia memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.
Tulisan ini akan berupaya memotret perjalanan
seorang Suharto, sebelum dan sesudah menjadi presiden. Agar tidak ada
lagi pemikiran yang berkata, “Biar Suharto punya salah, tapi dia tetap
punya andil besar membangun negara ini. Hasil kerja dan pembangunannya
bisa kita rasakan bersama saat ini. Lihat, banyak gedung-gedung megah
berdiri di Jakarta, jalan-jalan protokol yang besar dan mulus, jalan tol
yang kuat, Taman Mini Indonesia Indah yang murah meriah, dan
sebagainya. Jelas, bagaimana pun, Suharto berjasa besar dalam membangun
negara ini!”
Atau tidak ada lagi orang yang berkata, “Zaman
Suharto lebih enak ketimbang sekarang, harga barang-barang bisa murah,
tidak seperti sekarang yang serba mahal. Akan lebih baik kalau kita
kembali ke masa Suharto…” Hanya orang-orang Suhartoislah, yang mendapat
bagian dari pesta uang panas di zaman Orde Baru dan mungkin juga
sekarang, yang berani mengucapkan itu. Atau kalau tidak, ya bisa jadi,
mereka orang-orang yang belum tercerahkan. (rd/bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar